Senin, 19 September 2011

Papua History

Bismillah..
Assalamu'alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh..
Alhamdulillah, pada kesempatan kali ini, setelah usai menemukan referensi yang menurut saya akan sangat memiliki manfaat bagi seluruh generasi muda yang ada di Papua pada khususnya dan di Indonesia pada Umumnya, maka saya berinisiatif untuk menjadikannya sebuah postingan dengan judul "Papua History" (Sejarah Papua), yang menurut saya akan sangat bermanfaat dalam menambah khasanah pengetahuan kita.

Apa yang akan terurai dalam postingan berikut, merupakan hasil kutipan dari salah seorang yang bernama "Anti Provokator" yang memberikan komentarnya terhadap sebuah artikel menarik yang dimuat pada website milik Radio Nederland Wereldomroep Indonesia.

Dan berikut, kutipan tersebut :

Pada tahun 1453, orang Tidore mengadakan kontak intensif dengan orang-orang Papua yang waktu itu disebut Papua Besar. Pada tahun ini, Sultan Tidore X yang bernama Ibnu Mansur, bersama Sangaji Patani Sahmardan, dan Kapitan Waigeo bernama Kurabesi memimpin ekspedisi (terdiri dari satu armada kora-kora) ke dataran Tanah besar, dan menaklukkan beberapa wilayah di situ. Wilayah-wilayah di Tanah Besar itu kemudian disebut dengan nama Papoua yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu atau tidak bergandengan.

Tahun 1649, ketika VOC, memasuki wilayah kekuasaan kesultanan Tidore, maka Sultan Jamaluddin meminta bantuan Raja Papua bernama Kurabesi (Biak: Kita mendukung mereka). Dengan armada 24 perahu perang, Kurabesi berhasil memukul mundul VOC. Atas jasa baik itu, Sultan Jamaluddin mengikat persahabatan dengan Kurabesi dan pasukannya (kebanyakan dari Pom, Ansus, dan Biak) “dengan perkawinan dan menyediakan tanah untuk mereka menetap di Maluku Utara”. Hasil perkawinan (matrilokal) itu kemudian menjadi penguasa-penguasa baru di sejumlah tempat di Maluku Utara dan Kepulauan Raja Empat (Kolano Fat). Itu sebabnya, jangan heran kalau saat ini kita bisa melihat orang-orang di Kepulauan Raja Empat “menampilkan ciri fisik manusia rumpun melanesia, namun beragama Islam”.

Tahun 1768, seorang pelaut Perancis bernama Louis Antonie Baron de Bougainville pernah singgah di teluk Imbi (kini teluk Yos Sudarso), lantas ia beri nama gunung Dobonsolo menjadi Cycloop, dan gunung Tami menjadi Bougainville, sesuai mitos Yunani yang dipercayainya.
Tahun 1799 – 1805, seorang sarjana Jerman bernama F.H. Alexander Baron von Humboldt, singgah di teluk Imbi (Jayapura).

Tahun 1827, seorang pelaut Perancis bernama Jules Sebastian Cesar d’Urville dalam perjalanannya keliling dunia, ia singgah di teluk Imbi (Jayapura), lantas ia memberikan nama teluk itu, Humboldt (kini teluk Yos Sudarso), sebagai tanda penghargaan kepada Alexander Humboldt yang pernah singgah ke teluk tersebut.

Penginjil zending Jerman pertama bernama Ottow dan Gisler berangkat dari Ternate tanggal 10 Januari 1855 menuju tanah Papua, ditemani oleh seorang anak 12 tahun bernama Fritz, anak seorang guru. Mereka menumpang Kapal Fabritus, miliki seorang saudagar bernama Duivenbode.

Tanggal 5 Februari 1855, mereka menginjakkan kakinya di tanah Papua, tepatnya di Pulau Mansinam (Manokwari). Menurut tradisi Gereja Kristen Injili Irian Jaya, ketika menginjakkan kaki pertama kali di Mansinam, mereka mengucapkan kata-kata, “Dalam nama Yesus kami membaptis negeri ini dengan penduduknya.”

Setelah 6,5 tahun berkarya, pada tanggal 9 November 1862, Ottow meninggal dunia di Kwawi (Manokwari) dan dikuburkan di sana, di depan rumah yang dibangungnya sendiri. Sedangkan Geisler masih terus bekerja di Mansinam bersama isterinya.

Tanggal 11 Oktober 1871, A. Smith menempatkan tanda patok batas kekuasaan Belanda di pantai utara bagian timur, yakni di semenanjung Bonpland (sudut timur di teluk Humboldt) di bawah kelapa-kelapa pada titik 141.9 BT. Patok itu berbentuk besi panjang dengan gambar lambang Kerajaan Belanda.

Tanggal 7 Desember 1941 (pada hari Minggu pagi), perang Pasifik pecah, dengan serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour di Hawai. Pada hari itu 19 kapal dan 122 pesawat dihancurkan serta 2400 personel tentara Amerika Serikat dan sekutunya tewas. Pada waktu singkat, Jepang menguasai seluruh Pasifik, termasuk pantai utara dan selatan Pulau Nieuw Guinea. Ketika itu Belanda tak berdaya melawannya dan mundur sampai lari ke Australia.

Tanggal 9 April 1942, Jepang menduduki Indonesia.

Tanggal 19 April 1942, Armada Laut Jepang memasuki Teluk Humboldt (Yos Sudarso sekarang).

Tanggal 22 April 1944, suatu armada besar Amerika Serikat yang tak terbilang jumlahnya mendekati dan mendarat di pantai Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur. Itu sebabnya di Jayapura ada tempat bernama “Polimak”, bentuk Indonesia dari kata “Police Mac (Arthur)”, juga ada tempat bernama A.P.O, yang konon merupakan kependekan dari American Post Office, dsb. Dalam kurun waktu tiga bulan (terakhir 30 Juli menduduki pulau Sausapor) seluruh Nieuw Guinea dikuasai sekutu, namun tidak dijadikan sebagai wilayah koloni Amerika Serikat, melainkan sekadar bagai batu loncatan untuk menuju Jepang (karena pasukan sekutu di bawah dominasi Amerika Serikat menerapkan teknik lompat katak untuk menuju Jepang).

Anggota tentara sekutu kebanyakan kulit hitam (negro). Para tentara kulit hitam itu memperlebar jalan setapak Jayapura – Sentani dalam tempo seminggu dengan menggunakan alat-alat berat. Mereka jugalah yang memperpanjang dan memperlebar lapangan terbang Sentani.

Setelah Perang Dunia II, pelaksanaan pemerintah sipil terutama di seluruh kepulauan Indonesia, diserahkan kepada pemerintah Belanda oleh Amerika Serikat, melalui Jenderal Douglas MacArthur. Penyerahan kekuasaan kepada Belanda itu disebut pemerintahan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) dan sebagai gubernur jenderalnya adalah H.J. Van Mook. Ibu kota di Nieuw Guinea terletak di Hollandia, mula-mula di lembah Makanwai (kini Kampung Harapan, Sentani). Nama Mekanwai diganti oleh pemerintah Belanda menjadi Kota NICA, dan kemudian Pemerintah Indonesia menggantikannya dnegan nama Kampung Harapan.

Tanggal 1 Januari 1945, pemerintah Belanda mendirikan suatu sekolah Bestuur (Pamongpraja) di Kota NICA (kini Kampung Harapan, Sentani). Sebagai direktur pertama, Subratawijaya. Dua bulan kemudian digantikan oleh Soegoro Atmoprasodjo, yang didatangkan Belanda dari Brisbane, Australia. Jumlah siswa sekitar 200 orang Papua, dan umumnya berasal dari Pantai Utara.

Soegoro, didukung oleh semua orang Indonesia yang ada di Hollandia, terutama G.S.S.J. Ratulangi dan dr. Gerungan, mulai mengupayakan intgrasi Papua dengan Indonesia. Tanggal 30 April 1945, dilakukan rapat pertama secara tertutup (sembunyi-sembunyi), antara Soegoro Atmoprasodjo dan murid-muridnya unutk membahas pergantian nama Papua dan menentukan kriterianya. Pada saat itu, Soegoro membentuk suatu kelompok politik diantara para murid tersebut dalam rangka Indonesia merdeka. Soegoro memberikan nama kelompok itu IRIAN, suatu akronim dari Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands. Tokoh-tokoh penting kelompok IRIAN dalam pertemuan itu dan yang selanjutnya adalah Markus Kaisiepo, Frans Kaisiepo, dan Korinus M. Krey.

Tanggal 14 Agustus 1945, dikibarkanlah bendera Merah-Putih oleh Frans Kaisiepo dan kawan-kawannya, dan saat itu dikumandangkan lagu Indonesia Raya di Kampung Harapan (Kota NICA). Hal itu terjadi tiga hari sebelum proklamasi RI, 17 Agustus 1945, dan sehari sebelum proklamasi kemerdekaan RI di Cirebon, 15 Agustus 1945.

Tanggal 23 Agustus 1945, Soekarno terpilih sebagai Presiden RI oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam pidato pertama melalui radio, ia menyapa saudara-saudara sebangsa yang tidak termasuk dalam keputusan PPKI tanggal 9 Agustus di atas, antara lain Borneo dan Irian Barat, dengan berkata, “saudara-saudaraku dari Aceh sampai Merauke”. Sejak itu Soekarno mulai berjuang keras agar Irian Barat menjadi bagian dari Bangsa Indonesia dengan berbagai cara, baik konstitusional maupun inkonstitusional, nasional maupun internasional.

Tanggal 8 September 1945, secara luas diumumkan pergantian nama PAPUA menjadi IRIAN, melalui majalah Penjoeluh di Brisbane, Australia. M. Kaisiepo dan F. Kaisiepo mempunyai andil yang besar dalam permakluman nama ini melalui pendampingan dan bimbingan Soegoro.

Tanggal 20 Juni 1946, Frans Kaisiepo sebelum ke Malino (Sulawesi Selatan) secara tersembunyi mengunjungi Soegoro di tempat tahanan di Kota Baru Dalam (kini Abepura). Soegoro ditahan karena misi dan aksinya mengupayakan Indonesia merdeka terhadap para siswa Pamong Praja.

Tanggal 18 Juli 1946, hari Rabu, Frans Kaisiepo membawakan pidatonya dan isinya antara lain memperkenalkan nama IRIAN sebagai pengganti nama PAPUA dan menyatakan bahwa tanah IRIAN merupakan sebagian dari Republik Indonesia. Setelah pidato pergantian nama itu, pada sore harinya disiarkan oleh Radio Makasar.

Tanggal 1 April 1947, Soegoro (pelopor pengganti nama Papua menjadi Irian) melarikan diri ke Australia melalui Irian Timur setelah ia memimpin pemberontakan terhadap Belanda dari dalam tahanan di Kota Baru Dalam (Abepura).

Pada tanggal 27 Desember 1949, Indonesia merdeka secara penuh dimana pemerintahan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dengan bentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat), kecuali Nederlands Nieuw Guinea.

Tanggal 9 Desember 1951, terjadi pemberontakan pro-Indonesia di Hollandia, yang dipimpin oleh H.A. Wanda dan Bernard Sawen. Namun mereka ditangkap dan dipenjarakan. Sebaliknya di pihak Belanda, pada tahun 1951 itu juga, pemerintah Belanda segera menetapkan Rencana Induk Pengembangan Nieuw Guinea untuk 20 tahun persiapan. Program itu dibagi dalam dua tahap; tahap pertama tahun 1951 – 1960 adalah mempersiapkan kader-kader Nieuw Guinea melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan. Karena itu dibuka OSIBA, Kweekschool, PVK (Papua Vrijwilligers Korps), dan Akademi Polisi, dan lain-lain. Dan tahap kedua tahun 1961 – 1970 adalah kaderisasi di bidang politik dan birokrasi. Karena itu partai-partai politik didirikan, Dewan Nieuw Guinea dibentuk, dan jabatan-jabatan Dinas Jawatan mulai dipercayakan kepada orang Papua. Hari kemerdekaan Papua ditentukan yakni pada akhir tahun 1970, namun karena situasi politik mendesak, maka secara bertahap akan dilaksanakan deklarasi Papua Merdeka dan pengibaran bendera Papua Barat pada tanggal 1 Desember 1961.

Pada tahun 1954, di Hollandia didirikan gerakan partai politik pro-Indonesia di bawah pimpinan beberapa elit Papua (Martin Indey, Nicolas Jouwe, dan Corinus M. Krey). Gerakan itu dinamakan Komite Indonesia Merdeka (KIM), dengan aktor intelektual di belakangnya adalah seorang dokter bernama Gerungan.

Lambang negara dan bendera negara Papua ditetapkan pada Kongres Papua 19 Oktober 1961 di Gedung Nieuw Guinea Raad, Kota Hollandia (Kini Gedung Kesenian di Kota Jayapura). Lambang negara disetujui “Burung Mambruk” dan bendera negara “Bintang Kejora”.

Pada tanggal 1 Desember 1961 atas persetujuan pemerintahan Kerajaan Belanda, Komite Nasional Papua (KNP) mendeklarasikan Kemerdekaan Papua Barat (West Papua) di Hollandia (kini Jayapura), tempatnya di Jl. Irian, di halaman gedung Kesenian Irian Jaya yang pada waktu itu adalah gedung Nieuw Guinea Raad. Hari itu dilakukan pengibaran Bendera Papua Barat berdampingan dengan Bendera Kerajaan Belanda, dan dinyanyikan lagu kebangsaan kedua negara merdeka (Belanda dan Papua Barat).

Tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno memaklumatkan TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) di Yogyakarta untuk menggagalkan pembentukan Negara Papua Barat. Isi dari Trikora tersebut adalah :
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda kolonial.
2. Kibarkanlah Merah-putih di Irian Barat.
3. Bersiaplah mobilisasi umum guna mempertahankan kesatuan tanah air dan negara.

Tanggal 15 Januari 1962, gugurlah Yos Sudarso bersama kapal KRI Macan Tutul di Laut Arafuru. Ia gugur dalam usaha merebut Irian Barat dari tangan Belanda, sebagai implementasi Trikora. Peristiwa itu terjadi ketika Belanda sedang patroli di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Irian Barat. Ketika itu hubungan Belanda dan Indonesia sangat tegang di Irian Barat. Hal ini berawal dari deklarasi 1 Desember 1961 hingga Trikora 19 Desember 1961.

Pada bulan April 1962, sebagai reaksi atas gugurnya Yos Sudarso, rakyat dan pemerintah Indonesia marah sekali dan menerjunkan sejumlah besar Tentara Nasional Indonesia, dan para sukarelawan di seluruh dataran Irian Barat untuk merebut Papua dari kekuasaan Belanda. Perang gerilya antara Indonesia dan Belanda meletus dimana-mana di dataran Papua Barat. Perang terbuka tak terelakkan lagi. Amerika Serikat pun mengirim pesawat pengintai untuk memantau perkembangan situasi. Situasi politik inilah menjadi latarbelakang lahirnya “Bunker Proposal” yang kemudian menjadi New York Agreement.

Tanggal 2 April 1962, Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy, mengirimkan surat rahasia kepada Perdana Menteri Belanda, Dr. J.E. De Quay, untuk menekan pemerintah Belanda agar menerima proposal Bunker. Alasan Amerika menekan Belanda adalah untuk mencegah terjadinya perang terbuka, karena jika hal itu terjadi, pihak Belanda dan Blok Barat akan kalah dan yang akan memetik kemenangannya adalah Blok Timur atau Komunis.

Tanggal 31 Desember 1962 Indonesia menggantikan nama kota “Hollandia” (kini Jayapura), menjadi “Kota Baru”.

Tanggal 1 Mei 1963, Papua Barat diserahkan ke dalam Republik Indonesia oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-bangsa (UNTEA/United Nations Temporary Executive Authority). Nama “Kota Baru” diganti menjadi “Soekarnopura”. Dan dari tanggal inilah, hingga 16 November 1964, E.J. Bonay menjabat sebagai Gubernur propinsi Irian Barat. Ia diangkat sebagai gubernur pertama karena Indonesia memandangnya berjasa dalam mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.

Tanggal 26 November 1964, Frans Kaisiepo menjadi Gubernur Irian Barat, menggantikan E.J. Bonay.

Pada akhir tahun 1965, nama kota “Soekarnopura” diganti menjadi “Jayapura”. Perubahan itu dilakukan setelah peristiwa G.30.S PKI.

Tanggal 7 April 1967, ditandatangani kontrak pertama PT. Freeport dengan Indonesia.

Tanggal 12 Agustus 1968, Utusan Sekjen PBB, Fernando Oritz Sanz tiba di Jakarta.

Tanggal 22 Agustus 1968, Fernando Oritz Sanz menuju West Irian untuk membuka kantor perwakilan PBB di Jayapura.

Tanggal 1 Oktober 1968, Ortiz Sanz menyetujui laporan dari wakil pemerintah Indonesia tentang bentuk Pepera mendatang, yakni melalui musyawarah. Indonesia telah membentuk sebelumnya Dewan Musyawarah Pepera (DMP) di delapan kota di Irian Barat, yang mewakili beberapa golongan dan kelompok masyarakat.

Tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, dilaksanakanlah Pepera di Irian Barat dengan cara musyawarah untuk mufakat (artinya ada dewan yang mewakili masyarakat untuk memilih), dan bukan dengan cara yang lazim digunakan di belahan dunia lain, yaitu one man, one vote (setiap orang memilih).

Hasil akhir Pepera dilaporan oleh Ortiz Sanz sebagai berikut :
1. Anggota Dewan Musyawarah memilih bergabung dengan Indonesia.
2. Pelaksanaan Pepera dilaksanakan melalui perwakilan penduduk mengingat kondisi geografis wilayah yang sulit dan keadaan umum politik di daerah pada waktu itu; dimana hasilnya memilih bergabung dengan Indonesia.
Demikian yang dapat saya bagikan, untuk kesempatan kali ini.
Semoga bermanfaat...!!
Wa'alaikum Salam Warrohmatullahi Wabarokatuh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

.:: ada sebuah masa dimana sgalanya kekal.. namun tetap tergantung pilihan... menikmati surga dengan segala nikmat tak berakhir, atau kepayahan dalam kekekalan adzab neraka ::.